iiszatnika

Mari Merayakan Hari

Rumah Mawar

on November 25, 2011

Rumah itu lumayan buat kategori pasangan pekerja Jakarta dengan kisaran gaji rata-rata. Luasnya 100 meter dengan lebar muka yang tak terlampau lega, hanya lima meter. Jadi memanjang, dengan bangunan bertingkat dua yang lumayan kokoh.

Rumah itu menjadi salah satu penanda penaklukan kami atas Jakarta, setidaknya dalam benakku sendiri. Punya rumah yang berdiri di atas lahan yang masuk wilayah DKI Jakarta, walaupun harus mengkredit 15 tahun. Mungkin dangkal, tapi buatku terasa penting, bisa jadi ini berkorelasi dengan penghayatan atas perjuangan orang tuaku dulu untuk punya rumah, juga kreditan, di Antapani, Bandung. Lebih dashyat lagi, mereka mengkredit selama 30 tahun!

Namun, Rumah Mawar dari awal terasa begitu mengganjal. Terasa ada banyak hal yang tidak pas.

Secara lokasi dan struktur bangunan, itu pasti, tapi yang membuat lebih gelisah adalah interaksi antara para penghuni kompleks yang beranggotakan 40 rumah.

Nyaris tak ada interaksi disini, hampir empat tahun, kami akhirnya yakin, lebaran, tahun baru, agustusan bahkan ada tetangga sebelah yang meninggal pun, Rumah Mawar akan selalu dingin. Pagar-pagar tinggi itu akan selalu menutup, terbuka hanya ketika penghuninya mengeluarkan mobil atau motor atau pembantunya menyuapi anak asuhnya di luar rumah.

Awalnya kami berkesimpulan, inilah pola hidup di Jakarta. Tapi keheranan akan daya tahan para penghuni kompleks ini makin tak tertahankan. Perumahan ini nyatanya tak dihuni oleh mereka yang terlalu berada, termasuk menengah, aku kira.

Aku sering menggadang-gadang, apakah tetangga-tetanggaku itu tak merasa janggal dengan tingkat individualisme yang parah seperti itu?

Tidakkah mereka rindu untuk saling sapa, bertukar kabar dengan orang-orang yang secara fisik adalah orang-orang terdekat mereka. Apakah mereka sudah merasa normal dengan kehidupan di kantor dan rumah semata, tanpa ada keinginan berinteraksi dengan orang-orang yang mungkin, ketika sekat dinding itu tak ada, hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dari tempat tidur mereka.

Nyatanya, Rumah Mawar tak masuk rasa dan nalar kami sekaligus. Selain berbagai alasan teknis, kami pun memutuskan untuk menyerah pada kondisi yang suatu saat bisa membuat kami sinting.

Mungkin alasan ini berlebihan, tapi buat kami, guyub itu perlu. Bersapa, bertukar emosi, berbincang ringan dengan orang-orang selain saudara, teman kantor dan rekan satu lingkungan adalah salah satu keasyikkan bahkan kenikmatan hidup yang rasanya tak terbayar dengan kontruksi rumah sekokoh apa pun.

Ini bisa jadi berkorelasi dengan latar belakang kami sebagai kaum urban yang belum sepenuhnya mengadaptasi Jakarta.

Tapi, keputusan untuk pergi itu rasanya sudah tepat. Walaupun seorang psikolog berujar, tipisnya relasi antar tetangga di
Jakarta dipicu oleh menguatnya hubungan di dunia virtual, sehingga kebutuhan emosional mereka sudah terasa mencukupi tanpa mesti kenal tetangga.

Tapi, itu tak terjadi pada kami. Harus diakui, ada lubang pada diri kami yang tak terisi di Mawar.

Dan ketika malam kemarin, setelah kami pindah, melalui, dan rasanya masih harus terus berjuang untuk rumah baru kami, lubang itu makin terisi.
Ketika semalam Zidan menangis tiba-tiba, aku sedikit merinding karena ia tak mau masuk rumah. Ketika itu, di balkon rumah tetangga, kepala mungil itu menyapa, dan dia akhirnya keluar. Anak laki-laki tetangga kami mengajak Zidan bermain dan tangisan itu lalu mereda. Mungkin berlebihan, tapi benakku terus bilang, ini tak akan terjadi di Rumah Mawar. Tak akan ada jendela yang terbuka atau sapaan dari rumah sebelah yang terasa mengangkat setengah dari beban yang tengah menghimpit.

Selamat tinggal Rumah Mawar!


Leave a comment